Dari Teologi Pembebasan Menuju Fiqh Pembebasan, Mungkinkah?

Tulisan sederhana ini sebenarnya sebagai respon untuk sahabat saya Fadlan L. Nasurung seorang intelektual muda NU Makassar. Ia menulis status di beranda facebook beberapa hari yang lalu “Dari Teologi Pembebasan ke Fiqh Pembebasan, Mungkinkah? Status itu direspon oleh sahabat Savic Ali dan sahabat Djemi Radji Korwil Gusdurian wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua, termasuk saya juga meresponnya dan memintakan saya untuk menulisnya. Dari status itu jadilah tulisan ini yang amat jauh dari kata “ilmiah”. Melalui tulisan ini saya akan menjawab bahwa itu sesuatu yang “mungkin” secara teori dan praksis. Karena keduanya berangkat dari misi pembebasan.

Teologi pembebasan adalah gerakan yang muncul di Amerika Latin pada abad ke-20, yang menekankan pada peran Gereja dalam memperjuangkan keadilan sosial dan pembebasan kaum tertindas. Tokoh-tokoh utama dalam teologi pembebasan, seperti Gustavo Gutiérrez seorang filsuf Peru, teolog Katolik dan pendeta Dominika. Gutiérrez sangat menekankan pentingnya solidaritas dengan kaum miskin dan melawan struktur-struktur penindasan ekonomi, sosial, dan politik. Sementara itu, fiqh pembebasan atau fiqh al-aqalliyyat (yurisprudensi bagi komunitas Muslim minoritas) adalah upaya untuk mengembangkan kerangka hukum Islam yang dapat memberdayakan dan membebaskan komunitas-komunitas Muslim yang termarjinalkan, baik di negara-negara Muslim maupun di negara-negara non-Muslim.

Beberapa tokoh kunci dalam perkembangan fiqh pembebasan seperti Taha Jabir al-Alwani, yang menawarkan konsep fiqh al-aqalliyyat sebagai yurisprudensi bagi komunitas Muslim minoritas. Ia menekankan perlunya penafsiran hukum Islam yang kontekstual dan memperhatikan kondisi spesifik yang dihadapi oleh komunitas-komunitas tersebut. Ada juga Tariq Ramadan, yang menyumbangkan wawasan tentang bagaimana hukum Islam dapat diaplikasikan untuk melindungi kebebasan dan hak-hak kaum minoritas. Ia menekankan perlunya reinterpretasi hukum Islam yang lebih responsif terhadap tantangan-tantangan kontemporer. Selain itu ada Abdelwahab El-Affendi, yang mengembangkan konsep kewarganegaraan dalam perspektif hukum Islam. Ia berpendapat bahwa hukum Islam dapat digunakan untuk membela hak-hak dan tanggung jawab warga negara Muslim, termasuk dalam konteks minoritas.

Transisi dari teologi pembebasan menuju fiqh pembebasan menggambarkan upaya untuk menerjemahkan prinsip-prinsip pembebasan ke dalam kerangka hukum Islam yang dapat diimplementasikan secara praktis untuk memberdayakan komunitas-komunitas yang termarjinalkan. Hal ini menjadi penting dalam konteks masyarakat Muslim yang semakin beragam dan menghadapi tantangan-tantangan terkait hak-hak dan kebebasan.

Antara teologi pembebasan dan fiqh al-aqalliyyat (fiqh pembebasan) memiliki perbedaan jika dilihat akar, focus, pendekatan dan tujuan. Pertama, Dari akar keagamaan, teologi pembebasan berakar kuat dalam tradisi Kristiani, khususnya Katolik, dan menekankan peran Gereja dalam memperjuangkan keadilan sosial. Sementara Fiqh al-aqalliyyat berakar dalam tradisi hukum Islam (fiqh) dan bertujuan mengembangkan kerangka hukum Islam yang dapat memberdayakan komunitas Muslim minoritas. Kedua, teologi pembebasan berfokus pada pembebasan kaum tertindas secara umum, terlepas dari latar belakang agama mereka, sementara Fiqh al-aqalliyyat berfokus secara khusus pada pemberdayaan dan perlindungan komunitas Muslim yang berada dalam kondisi minoritas. Ketiga, teologi pembebasan menggunakan pendekatan yang lebih luas, mencakup analisis struktural, ekonomi politik, dan perjuangan kelas. Fiqh al-aqalliyyat menggunakan pendekatan yang lebih spesifik, yaitu menafsirkan dan menerapkan hukum Islam untuk memenuhi kebutuhan komunitas Muslim minoritas. Ke empat, tujuan utama teologi pembebasan adalah menciptakan transformasi sosial yang lebih adil dan merata, sedangkan fiqh al-aqalliyyat tujuan utamanya adalah memberdayakan dan melindungi hak-hak komunitas Muslim minoritas, baik di negara-negara Muslim maupun non-Muslim.

Meskipun ada perbedaan-perbedaan, kedua gerakan ini memiliki kesamaan dalam hal komitmen terhadap pembebasan dan keadilan sosial. Transisi dari teologi pembebasan menuju fiqh pembebasan dapat dilihat sebagai upaya untuk menterjemahkan prinsip-prinsip pembebasan ke dalam kerangka hukum Islam yang dapat diimplementasikan secara praktis untuk komunitas-komunitas Muslim yang termarjinalkan.

Prinsip-prinsip teologi pembebasan mempengaruhi gerakan keadilan sosial di negara-negara yang mayoritas Muslim. Meskipun teologi pembebasan berakar kuat dalam tradisi Kristiani, khususnya Katolik, beberapa sarjana Muslim telah berusaha untuk mengembangkan varian “teologi pembebasan Islam” yang serupa.

Contohnya, pemikir seperti Ali Shariati di Iran dan Mahmoud Mohamed Taha di Sudan telah mencoba menghubungkan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam dengan gerakan pembebasan. Baik teologi pembebasan dalam Kristen dan Islam sama-sama menekankan pada kaum tertindas. Sama seperti teologi pembebasan Kristiani, versi Muslim dari teologi pembebasan menekankan pembebasan kaum tertindas, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Ini mencakup kelompok-kelompok seperti buruh, petani kecil, masyarakat pinggiran, dan minoritas agama/etnis. Kedua teologi ini menggunakan analisis structural untuk memahami akar-akar penindasan. Ini mencakup analisis atas sistem ekonomi, politik, dan sosial yang tidak adil. Gerakan keadilan sosial yang terinspirasi oleh teologi pembebasan, aktivis Muslim terlibat dalam berbagai bentuk aksi sosial, seperti demonstrasi, advokasi, dan program pemberdayaan masyarakat. Tujuannya adalah untuk memperjuangkan perubahan struktural demi mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi kaum tertindas.

Beberapa cendekiawan Muslim yang telah menafsirkan dan menerapkan prinsip-prinsip teologi pembebasan dalam karya-karya dan aktivisme mereka seperti Abul A’la Maududi (Pakistan). Maududi, seorang pemikir Muslim terkemuka, mengembangkan konsep “teokrasi Islam” yang menekankan keadilan sosial dan penolakan terhadap penindasan. Meskipun tidak secara eksplisit menggunakan istilah “teologi pembebasan”, pemikirannya memiliki banyak kesamaan dengan prinsip-prinsip gerakan tersebut.

Ada juga Ali Shariati seorang intelektual Muslim Iran, mengembangkan versi “teologi pembebasan Islam” yang menekankan pembebasan kaum tertindas dan perlawanan terhadap struktur sosial yang tidak adil. Ia menggabungkan ajaran Islam dengan analisis Marx tentang kapitalisme dan penindasan untuk menciptakan visi transformatif. Kemudian Mahmoud Mohamed Taha, seorang pemikir dan aktivis Sudan, mengembangkan pemikiran “teologi pembebasan Islam” yang menekankan pentingnya keadilan, persamaan, dan pembebasan dari penindasan. Ia mencoba menghubungkan ajaran Islam yang progresif dengan perjuangan untuk kemerdekaan dan keadilan sosial. Amina Wadud, seorang feminis Muslim Amerika, telah menulis tentang bagaimana prinsip-prinsip teologi pembebasan dapat diintegrasikan ke dalam pemikiran dan praktik Islam yang berperspektif gender. Ia menekankan pembebasan perempuan dari penindasan patriarkal sebagai bagian integral dari upaya pembebasan kaum tertindas secara umum.

Meskipun belum ada konsep “teologi pembebasan Islam” yang mapan, para pemikir dan aktivis Muslim ini telah memberikan sumbangan penting dalam mengembangkan visi Islam yang berpihak pada keadilan sosial dan pembebasan. Upaya mereka menunjukkan adanya dialog yang kaya antara prinsip-prinsip teologi pembebasan dengan pemikiran dan aktivisme Muslim kontemporer.

Bagaimana dengan Fiqih pembebasan? Fiqh pembebasan merupakan upaya untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam (fiqh) yang berorientasi pada pembebasan kaum tertindas dan perjuangan untuk keadilan sosial. Beberapa pemikir dan aktivis Muslim telah memberikan kontribusi penting dalam hal ini, antara lain Hasan Hanafi (Mesir) dengan karyanya yang sangat terkenal yakni “Al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr al-Dini” (Kanan dan Kiri dalam Pemikiran Keagamaan). Hanafi mengembangkan konsep “Fiqh al-Tanwir” (Fiqh Pencerahan) yang menekankan pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan dan pencapaian kemerdekaan. Selaian Hanafi, Abdullah Saeed (Australia) “Islamic Thought: An Introduction“. Saeed menekankan pentingnya menafsirkan ulang hukum Islam (fiqh) untuk menjawab tantangan keadilan sosial dan pembebasan di dunia modern.

Ada juga Khaled Abou El Fadl (AS) “Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women”, dimana El Fadl mengkritik pemahaman hukum Islam yang ekslusif dan mengarah pada penindasan, serta menawarkan pendekatan yang lebih egaliter dan berkeadilan. Amina Wadud (AS), “Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective“. Wadud menafsirkan ulang hukum Islam (fiqh) dari perspektif feminis untuk memberdayakan perempuan dan melawan patriarki. Terakhir adalah Farid Esack (Afrika Selatan), bukunya yang paling saya suka yakni “Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression”. Dalam buku ini Esack mengembangkan konsep “Fiqh al-Intifadhah” (Fiqh Perlawanan) yang menekankan perlawanan terhadap penindasan dan solidaritas antar-agama.

Beberapa pemikir di atas, telah memberikan landasan bagi upaya untuk mengembangkan fiqh yang berorientasi pada pembebasan, keadilan, dan solidaritas dengan kaum tertindas. Meskipun masih dalam tahap pengembangan, “Fiqh Pembebasan” ini menawarkan perspektif hukum Islam yang transformatif dan relevan dengan perjuangan sosial kontemporer. Berikut ini terdapat beberapa contoh konkret penerapan Fiqh Pembebasan di masyarakat yang dapat direplikasi, antara lain, Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) di Indonesia, Koperasi Syariah di Malaysia, Gerakan Ekonomi Sosial di Turki, Kegiatan Pendidikan Alternatif di Pakistan.

Bagaimana penerapan fiqh pembebasan dalam konteks masyarakat Indonesia yang beragam? Hal yang penting untuk dilakukan adalah memahami keragaman budaya dan tradisi. Indonesia memiliki keragaman suku, agama, dan budaya yang harus diakomodasi dalam penerapan Fiqh Pembebasan. Pendekatan yang sensitif terhadap konteks lokal sangat diperlukan, sehingga konsep pembebasan dapat diterima dan dipraktikkan dengan baik. Namun juga tetap mengedepankan dialog dan kolaborasi lintas kelompok berbasis budaya dan agama. Organisasi keagamaan di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah, memiliki potensi besar untuk mengembangkan dan menerapkan konsep Fiqh Pembebasan. Upaya revitalisasi pemikiran dan gerakan pembebasan di dalam organisasi-organisasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan.

Penulis: Romo Samsi Pomalingo (Pembina Gusdurian Gorontalo)

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Terpopuler